Kamis, 06 Desember 2018

HUBUNGAN BUDAYA DENGAN KESEHATAN



HUBUNGAN BUDAYA DENGAN KESEHATAN

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang banyak membawa perubahan terhadap kehidupan manusia baik dalam hal perubahan pola hidup maupun tatanan social termasuk dalam bidang kesehatan yang sering dihadapkan dalam suatu hal yang berhubungan langsung dengan norma dan budaya yang dianut oleh masyarakat yang bermukim dalam suatu tempat tertentu.
Pengaruh social budaya dalam masyarakat memberikan peran penting dalam mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Perkembangan social budaya dalam masyarakat merupakan suatu tanda bahwa masyarakat dalam suatu daerah tersebut telah mengalami suatu perubahan dalam proses berfikir. Perubahan social dan budaya bisa memberikan dampak positif maupun negative.
Hubungan antara budaya dan kesehatan sangatlah erat hubungannya, sebagai salah satu contoh suatu masyarakat yang ada di desa saya yaitu, Desa Pamoyanan kec. Kadipaten kab. Tasikmalaya, dengan kebudayaan turun temurun dari leluhur yang berkaitan dengan masalah kesehatan, pencegahan, dan pengobatan sakit.


 BUDAYA SUNDA

Konsep sehat sakit tidak hanya mencakup aspek fisik saja , tetapi juga bersifat sosial budaya . Istilah lokal yang biasa dipakai oleh masyarakat Jawa Barat ( orang sunda ) adalahmuriang untuk demam , nyerisirah untuk sakit kepala , gohgoyuntuk batuk dan salesma untuk pilek / flu dan lain sebagainya.Penyebab sakit umumnya karena lingkungan (environment).Pencegahan sakit umumnya dengan menghindari penyebabnya.Pengobatan sakit umumnya menggunakan obat yang terdapat di warung obat yang ada di desa ini, sebagian kecil menggunakan obat tradisional. Pengobatan sendiri sifatnya sementara , yaitu penanggulangan pertama sebelum berobat ke puskesmas atau mantri.

 Pengertian Sehat Sakit
Menurut orang sunda , orang sehat adalah mereka yang makan terasa enak walaupun dengan lauk seadanya,  dapat tidur nyenyak dan tidak ada yang dikeluhkan , sedangkan sakitadalah apabila badan terasa sakit , panas atau makan terasa pahit , kalau anak kecil sakit biasanya rewel , sering menangis , dan serba salah / gelisah. Dalam bahasa sunda orang sehat disebut cageur, sedangkan orang sakit disebut gering.
Ada beberapa perbedaan antara sakit ringan dan sakit berat . Orang disebut sakit ringan apabila masih dapat berjalan kaki , masih dapat bekerja , masih dapat makan – minum dan dapat sembuh dengan minum obat atau obat tradisional yang dibeli di warung . Orang disebut sakit berat ,  apabila badan terasa lemas , tidak dapat melakukan kegiatan sehari – hari , sulit tidur , berat badan menurun , harus berobat ke dokter / puskesmas , apabila menjalani rawat inap memerlukan biaya  mahal.

Sebagian masyarakat masih menerapkan dalam kehidupan sehari-harinya masalah kesehatan yang telah menjadi budaya dan kebiasaan dari nenek moyang mereka, meliputi penyebab, pencegahan, dan pengobatan sakit yang ternyata bertolak belakang dengan medis. Adapun kebiasaan-kebiasaan tersebut yang umumnya masih dilakukan oleh masyarakat budaya sunda antara lain:
1. Masuk angin, harus dikerok.
Medis :
Kerokan ternyata bukan pertanda anginnya keluar, melainkan pecahnya pembuluh kapiler tepi yang berada dikulit. Tidak mengherankan, jika beberapa waktu setelah kerokan, gejala-gejala masuk angin akan kembali terjadi. Kerokan akan menimbulkan rasa sakit, tapi karena sudah ada rasa sakit atau pegal otot, maka dengan rangsangan sakit yang baru akan menimbulkan rasa seolah-olah rasa sakit pertama berkurang atau "terlupakan".
    2. Penderita Cacar Air atau Campak Tidak Boleh Mandi 
       Medis :
 Hal ini tentunya bertentangan dengan prinsip medis, dimana pada penderita penyakit cacar air atau campak dengan kelainan pada kulit yang menyeluruh, justru harus menjaga kebersihan kulit dengan mandi lebih sering agar perluasan penyakit dapat dicegah, disamping menggunakan obat.
       3. Mandi Malam Hari Menyebabkan Rematik 
        Medis :
Hal ini tidak benar. Kalau kondisi tubuh dalam keadaan sehat dan memerlukan mandi untuk kebersihan, tidak ada masalah meskipun mandi malam hari. Tetapi pada penderita rematik, dianjurkan mandi dengan air hangat.
      4. Kalau Demam Tidak Boleh Mandi
        Medis :
Dengan mandi ketika demam dapat menurunkan suhu tubuh yang sedang meningkat. Tetapi, kalau demam disertai dengan rasa menggigil, mandi dengan air hangat akan lebih baik atau kompres dengan air hangat.

Semua Hasil kebiasaan budaya diatas belum ada Penelitiannya.

Sumber: http://widanurulwahidah.blogspot.com/2013/12/hubungan-budaya-dengan-kesehatan.html 

Selasa, 13 November 2018

TELENURSING


Telenursing
 


A.     Definisi Telenursing

Telenursing adalah upaya penggunaan teknologi informasi dalam memberikan pelayanan keperawatan dalam bagian pelayanan kesehatan dimana ada jarak secara fisik yang jauh antara perawat dan pasien, atau antara beberapa perawat. Sebagai bagian dari telehealth dan beberapa bagian terkait dengan aplikasi bidang medis dan non medis seperti telediagnosis, telekonsultasi dan telemonitoring.

B.     Manfaat Telenursing

Menurut Britton et all (1999), ada beberapa keuntungan telenursing yaitu :
1.      Efektif dan efisien dari sisi biaya kesehatan, pasien dan keluarga dapat mengurangi kunjungan ke pelayanan kesehatan ( dokter praktek,ruang gawat darurat, rumah sakit dan nursing home)
2.      Dengan sumber daya yang minimal dapat meningkatkan cakupan dan jangkauan pelayanan keperawatan tanpa batas geografis
3.      Telenursing dapat menurunkan kebutuhan atau menurunkan waktu tinggal di rumah sakit
4.      Pasien dewasa dengan kondisi penyakit kronis  memerlukan pengkajian yang sering sehingga membutuhkan biaya yang banyak. Telenursing dapat meningkatkan pelayanan untuk pasien kronis tanpa memerlukan biaya dan meningkatkan pemanfaatan teknologi.
5.      Berhasil dalam menurunkan total biaya perawatan kesehatan dan meningkatkan akses untuk perawatan kesehatan tanpa banyak memerlukan sumber.

C.   Aplikasi Telenursing

Aplikasi telenursing dapat diterapkan di rumah, rumah sakit melalui pusat telenursing dan melalui unit mobil. Telepon triase dan home care berkembang sangat pesat dalam aplikasi telenursing. Di dalam home care perawat menggunakan system memonitor parameter fisiologi seperti tekanan darah, glukosa darah, respirasi dan berat badan melalui internet. Melalui system interaktif video, pasien contact on-call perawat setiap waktu untuk menyusun video konsultasi ke alamat sesuai dengan masalah, sebagai contoh bagaimana mengganti baju, memberikan injeksi insulin atau diskusi tentang sesak nafas. Secara khusus sangat membantu untuk anak kecil dan dewasa dengan penyakit kronik dan kelemahan khususnya dengan penyakit kardiopulmoner. Telenursing membantu pasien dan keluarga untuk berpartisipasi aktif di dalam perawatan, khususnya dalam management penyakit kronis. Hal ini juga mendorong perawat menyiapkan informasi yang akurat dan memberikan dukungan secara online. Kontinuitas perawatan dapat ditingkatkan dengan menganjurkan sering kontak antara pemberi pelayanan kesehatan maupun keperawatan dengan individu pasien dan keluarganya.

-Telenursing dapat juga digunakan dikampus dengan video conference, pembelajaran online dan Multimedia Distance Learning


Tiga level keamanan untuk proteksi data pasien

                                                                                   



Teknologi Telehealth pada daerah pedesaan




Jenis dan pembagian Telehealth



Media telenursing antara lain:
1. Handphone ( telepon seluler )
2. Personal Digital System (PDA)
3. Mesin faksimili (faks)
4. Internet
5. Video atau audio conferencing
6. Teleradiolog
7. Komputer sistem informasi
8. Teleborotic

Contoh Telenursing menggunakan Skype. 




Pedoman praktek lainnya yang menggunakan telenursing adalah :

1.   Menyampaikan informasi penting klien seperti data elektrokardiogram, CT Scan, foto rontgen, dsb.
2.   Menggunakan video, komputer untuk memantau kondisi kesehatan klien.
3.   Memantau status kesehatan klien di rumah sakit atau rumah misal, tekanan darah, nadi pernafasan, suhu dan sebagainya.
4.   Membantu wisatawan untuk mendapatkan perawatan kesehatan di tempat tujuan mereka.
5.   Membantu operasi klien dari jarak jauh.
6.   Menggunakan video konference untuk menyediakan sesi pendidikan keperawatan berkelanjutan.
7.   Mengembangkan website untuk memberikan informasi kesehatan dan waktu konseling
.
D.     Kelebihan dan kekurangan Telenursing

   Kelebihan Telenursing
Telenursing dapat diartikan sebagai pemakaian teknologi informasi dibidang pelayanan keperawatan untuk memberikan informasi dan pelayanan keperawatan jarak jauh. Model pelayanan ini memberikan keuntungan antara lain :
1.      Mengurangi waktu tunggu dan mengurangi kunjungan yang tidak perlu,
2.      Mempersingkat hari rawat dan mengurangi biaya perawatan,
3.      Membantu memenuhi kebutuhan kesehatan,
4.      Memudahkan akses petugas kesehatan yang berada di daerah yang terisolasi,
5.      Berguna dalam kasus-kasus kronis atau kasus geriatik yang perlu perawatan di       rumah dengan jarah yang jauh dari pelayanan kesehatan, dan
6.       Mendorong tenaga kesehatan atau daerah yang kurang terlayani untuk mengakses penyedia layanan melalui mekanisme seperti : konferensi video dan internet (American Nurse Assosiation, 1999).
7.      Peningkatan jumlah cakupan pelayanan keperawatan dalam jumlah yang lebih luas dan merata,
8.      Dapat dimanfaatkan dalam bidang pendidikan keperawatan (model distance learning) dan perkembangan riset keperawatan berbasis informatika kesehatan dan meningkatkan kepuasan perawat dan pasien terhadap pelayanan keperawatan yang diberikan serta meningkatkan mutu pelayanan perawatan di rumah (home care).
9.      Meningkatkan rasa aman (safety) perawat dan klien, karena dengan diterapkannya telenursing  semakin  meningkatkan kepuasan pasien dan keluarga dan meningkatkan kepatuhan. Telenursing telah menyediakan sarana bagi konsumen untuk memanggil perawat agar mendapatkan saran kesehatan. seorang perawat dengan pelatihan khusus  dapat menawarkan pendidikan dan dukungan, sehingga ini  bermanfaat karena klien membutuhkan dukungan yang  tidak mungkin didapatkan dengan kontak langsung.


 Kekurangan dan hambatan dalam telenursing
o   Tidak adanya interaksi langsung perawat dengan klien yang akan mengurangi kualitas pelayanan kesehatan. Kekawatiran ini muncul karena anggapan bahwa kontak langsung dengan pasien sangat penting terutama untuk dukungan emosional dan sentuhan terapeutik.
o   Kemungkinan kegagalan teknologi seperti gangguan koneksi internet atau terputusnya hubungan komunikasi akibat gangguan cuaca dan lain sebagainya sehingga menggangu aktifitas pelayanan yang sedang berjalan, selain itu juga meningkatkan risiko terhadap keamanan dan kerahasiaann dokumen klien.


Kamis, 08 November 2018

KESEHATAN MASYARAKAT


FAKTOR RISIKO KANKER PAYUDARA WANITA

Penulis: Lindra Anggorowati

Diterbitkan oleh: Universitas Negeri Semarang

Penelitian: FAKTOR RISIKO KANKER PAYUDARA WANITA

ISSN 1858-1196


Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2004, menyatakan bahwa 5 besar kanker di dunia adalah kanker paru-paru, kanker payudara, kanker usus besar, kanker lambung, dan kanker hati. WHO mengestimasikan bahwa 84 juta orang meninggal akibat kanker dalam rentang waktu 2005-2015. Survei yang dilakukan WHO dinyatakan 8-9 persen wanita mengalami kanker payudara. Hal itu membuat kanker payudara sebagai jenis kanker yang paling banyak ditemui pada wanita setelah kanker leher rahim (American Cancer Society, 2008).

Faktor risiko kanker payudara adalah jenis kelamin, dengan perbandingan lakilaki perempuan kira-kira 1:100. Berdasarkan data penelitian Harrianto dkk di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo tahun 2005, faktor risiko kanker payudara di antaranya adalah riwayat keluarga dengan penderita kanker payudara (15,79%), menarche dini (8,77%), nullipara (7,02%) dan pemakaian pil yang mengandung estrogen jangka panjang (42,11%). Selain itu, juga terdapat faktor risiko lain yang diduga berpengaruh terhadap kejadian kanker payudara yaitu menopause terlambat, riwayat pemberian ASI, dan obesitas.

Penelitian ini dilakukan di wilayah Kota Kudus karena tingginya kejadian kanker payudara di tempat tersebut. Berdasarkan Rekam Medik Rumah Sakit Umum Kudus Tahun 2007-2009, jumlah penderita kanker payudara yang dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Kudus sebagai rumah sakit rujukan wilayah Kudus terdapat 334 kasus pada tahun 2007, 324 kasus pada tahun 2008, dan 65 kasus pada tahun 2009. Meskipun terjadi penurunan yang signifikan di tahun 2009, namun penyakit kanker payudara merupakan penyakit yang mempunyai andil besar dalam kematian wanita di dunia. Setelah perawatan, sekitar 50 persen pasien yang menderita kanker payudara stadium akhir hanya dapat bertahan hidup 18-30 bulan (Indopos Universitas Indonesia, 2005). Disamping itu, penelitian tentang faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian kanker payudara masih sangat terbatas di Indonesia.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kejadian kanker payudara di RSUD Kudus.

METODE

 Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan desain case control. Metode case control dapat digunakan untuk menilai peran variabel yang diteliti dalam penelitian ini, yaitu usia, riwayat obesitas, riwayat keluarga menderita kanker payudara, riwayat keluarga menderita kanker ovarium, usia melahir usia melahirkan anak pertama, riwayat pemberian ASI, usia menarche, usia menopause, riwayat pemakaian pil kontrasepsi kombinasi, dan lama pemakaian pil kontrasepsi, yang berhubungan dengan kejadian penyakit kanker payudara wanita.
Sampel kasus dalam penelitian ini adalah pasien penyakit kanker payudara wanita yang tercatat di RSUD Kudus dan memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi, yang meliputi:

Kriteria inklusi sampel kasus:

1. Responden wanita yang pertama kali didiagnosis menderita kanker payudara dan tercatat di Rekam Medik di RSUD Kudus Tahun 2009.  
2. Belum dinyatakan meninggal dunia.
3. Bertempat tinggal di Kota Kudus, Demak, dan Jepara.
Kriteria ekslusi sampel kasus : pada saat dilakukan kunjungan rumah responden sudah tidak bertempat tinggal sesuai dengan alamat yang diambil dari Rekam Medik RSUD Kudus Tahun 2009.
Sampel kontrol dalam penelitian ini adalah tetangga dari sampel kasus yang tidak terkena penyakit kanker payudara dan memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Sampel kontrol sejumlah 1:1 dari jumlah sampel kasus, dimana bertempat tinggal dalam satu wilayah dengan sampel kasus dan memiliki karakteristik jenis kelamin dan usia yang hampir sama dengan sampel kasus (SD + 5 tahun).

Kriteria inklusi sampel kontrol:

1. Responden wanita tidak menderita kanker payudara.
2. Bertempat tinggal di Kota Kudus, Demak, dan Jepara.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling, dengan besar sampel sebanyak 59 kasus dan 59 kontrol. Instrumen penelitian ini adalah kuesioner dan rekam medis RSUD Kudus. Data dianalisis dengan menggunakan uji Chi-Square atau Uji fisher sebagai alternatifnya dan dihitung menggunakan analisis risiko Odds Ratio (OR) (α=0.05).

HASIL


Penelitian dilakukan terhadap 59 kasus dan 59 kontrol, dengan karakteristik responden ditampilkan pada Tabel 1.

Berdasarkan Tabel 1, jumlah kasus dan kontrol pada variabel usia melahirkan anak pertama sebanyak 37 dan 44 orang. Hal ini dikarenakan jumlah responden kasus yang mempunyai anak pertama, sebanyak 34 orang dan yang tidak mempunyai anak dengan usia diagnosis > 30 tahun, sebanyak 3 orang, sedangkan yang tidak mempunyai anak sebanyak 22 orang, sehingga analisis dilakukan terhadap 37 orang. Sementara itu, jumlah responden kontrol yang mempunyai anak sebanyak 44 orang dan yang tidak mempunyai anak sebanyak 15 orang, sehingga analisis dilakukan terhadap 44 orang.

Adapun pada variabel usia menopause, jumlah kasus yang sudah menopause pada saat dilaksanakannya penelitian sebanyak 16 orang, sedangkan yang belum sebanyak 43 orang, sehingga analisis dilakukan terhadap 16 orang. Sementara itu, jumlah kontrol yang sudah menopause pada saat dilaksanakannya penelitian sebanyak 17 orang, sedangkan yang belum sebanyak 42 orang, sehingga analisis dilakukan terhadap 17 orang.

Berdasarkan Tabel 2, dari 10 variabel bebas yang diteliti, terdapat 4 variabel yang berhubungan dengan kejadian kanker payudara. Variabel-variabel tersebut adalah riwayat obesitas, usia melahirkan anak pertama, riwayat pemberian ASI, dan usia menarche.

 PEMBAHASAN


Berdasarkan analisis bivariat, tidak ada hubungan antara usia responden dengan kejadian kanker payudara. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Nani (2009), yang menunjukan bahwa distribusi kelompok umur terbanyak ditemukan pada golongan umur 40-49 tahun (36,5%), dan 50-59 tahun (30,8%). Hasil tersebut tidak sesuai pula dengan pernyataan dalam penelitian Harianto (2005) yang mengutip dari Caleste L bahwa berdasarkan program SEER (Surveillance, Epidemiology, and End Results) yang dilakukan NCI (National Cancer Institutte) insidensi kanker payudara meningkat seiring dengan pertambahan usia. Umur sangat penting sebagai faktor yang berpengaruh terhadap kanker payudara. Kejadian kanker payudara akan meningkat.

Tabel 1. Karakterkstik Responden

Karakteristik
Kasus
Kontrol
N
(%)
N
(%)
1.
Umur

a.      ≥ 42 tahun
23
39
20
33,9

b.      < 42 tahun
36
61
39
66,1

Total
59
100%
59
100%
2.
Riwayat Obesitas

a.      Obesitas
33
55,9
13
22

b.      Tidak Obesitas
26
44,1
46
78

Total
59
100%
59
100%
3.
Riwayat keluarga ca. Mammae

a.      Ada
16
27,1
7
11,9

b.      Tidak
43
72,9
52
88,1

Total
59
100%
59
100%
4.
Riwayat keluarga ca. ovarium

a.      Ada
4
6,8
3
5,1

      b. Tidak
55
93,2
56
94,9

Total
59
100%
59
100%
5.
Usia melahirkan anak pertama

a.      ≥ 30 tahun + belum punya anak dengan usia diagnosis ≥30 tahun
22
59,5
10
22,7

b.      < 30 tahun
15
40,5
34
77,3

Total
37
100%
44
100%
6.
Riwayat pemberian ASI

a.      < 4 bulan
21
61,8
10
22,7

b.      ≤ 4 bulan
13
38,2
34
77,3

Total
34
100%
44
100%
7.
Usia menarche

a.      < 12 tahun
34
57,6
10
16,9

b.      ≥ 12 tahun
25
42,4
49
83,1

Total
59
100%
59
100%
8.
 Usia monopause

a.      ≥ 48 tahun
13
81,2
12
70

b.      < 48 tahun
3
18,8
5
29,1

Total
16
100%
17
100%
9.
Riwayat pemakaian pil kontrasepsi kombinasi

a.      Memakai
19
32,2
12
20,3

b.      Tidak memakai
40
67,8
47
79,7

Total
59
100%
59
100%
10.
Lama pemakaian pil kontrasepsi

a.      ≥ 5 tahun
6
31,6
3
25

b.      < 5 tahun
13
68,1
9
75

Total
19
100%
12
100%


Tabel 2. Hasil Analisis Bivariat

No
Variabel
Nilai p
OR
CI
1.
Usia
0,70
1,25
0,59 – 2,64
2.
Riwayat obesitas*
0,00
4,49
2,01 – 10,02
3.
Riwayat keluarga ca. Mammae
0,06
2,76
1,04 – 7,33
4.
Riwayat keluarga ca. Ovarium
1,00
1,36
0,29 – 6,35
5.
Usia melahirkan anak petama*
0,00
4,99
1,90 – 13,87
6.
Riwayat pemberian ASI*
0,00
5,49
2,05 – 14,74
7.
Usia menarche*
0,00
6,66
2,84 – 15,65
8.
Usua monopause
0,69
1,80
0,35 – 9,23
9.
Riwayat pemakaian pil kontrasepsi kombinasi
0,20
1,86
0,81 – 4,29
10.
Lama pemakaian pil kontrasepsi kombinasi
0,69
1,75
0,35 – 8,71

Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan hasil beberapa faktor yang ada hubungan dengan kejadian kanker payudara antara lain obesitas (p=0,00; OR=4,49; CI=2,01-10,02), usia melahirkan anak pertama (p=0,00; OR=4,99; CI=1,90-13,87), riwayat pemberian ASI (p=0,00; OR=5,49; CI=2,05-14,74), dan usia menarche (p=0,00; OR=6,66; CI=2,84-15,65). Saran yang diajukan bagi masyarakat diharapkan dapat mencegah terjadinnya kanker payudara. Bagi RSUD Kudus perlu penambahan informasi pencatatan stadium kanker payudara. Bagi dinas kesehatan perlu promosi kesehatan kepada masyarakat tentang upaya pencegahan kanker payudara.

Ditemukannya kejadian kanker payudara wanita yang lebih besar pada usia <42
tahun, baik pada kelompok kasus maupun kontrol penelitian ini, diperkirakan karena
responden merupakan penderita kanker payudara stadium awal yang melakukan pendeteksian
dini agar penyakit tidak berkembang menjadi stadium lanjut.

Pada variabel obesitas, hasil penelitian ini selaras dengan penelitian Nani (2009) yang menyatakan bahwa berdasarkan analisis bivariat salah satu variabel bebas yang berpengaruh terhadap kejadian kanker payudara adalah adanya riwayat kegemukan (OR = 2,38 ;95% CI : 1,08 – 5,25). Selaras pula dengan penelitian Enger (1989) dan Colditz (1994) yang menyatakan bahwa ada peningkatan risiko terkena kanker payudara pada wanita dengan Body Mass Index yang besar. Risiko pada kegemukan akan meningkat karena meningkatnya sintesis estrogen pada timbunan lemak yang berpengaruh terhadap proses proliferasi jaringan payudara (Balasubramaniam dkk, 2013)

Hasil penelitian variabel riwayat keluarga menderita kanker payudara tidak selaras
dengan pernyataan William F dan J Christopher (2001), yang menyatakan bahwa riwayat
keluarga yang positif adalah faktor risiko terbesar kanker payudara. Wanita-wanita dengan
satu orang dari keluarga menderita kanker payudara mempunyai risiko 2 kali lipat akan menderita kanker payudara, dan wanita-wanita yang terdapat 2 orang menderita kanker payudara mempunyai risiko 14 kali lipat lebih besar akan menderita kanke payudara, sedangkan 20% wanita yang menderita kanker payudara mempunyai riwayat keluarga jauh yang menderita kanker payudara.
            
Hasil penelitian variabel riwayat keluarga menderita kanker ovarium tidak selaras dengan teori atau pernyataan dari Wakai Kenji et al (1995), Scheinn Philip (1997), Vogel and Victor G (2000), yang dikutip oleh Nani (2009) yang menyatakan bahwa seseorang akan memiliki risiko terkena kanker payudara lebih besar bila anggota keluarganya ada yang menderita kanker payudara atau kanker ovarium. Hal ini dikarenakan sebagian besar (lebih dari 90%) responden tidak menderita kanker ovarium yang dapat berisiko terkena kanker payudara.

 KESIMPULAN


Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian kanker payudara di RSUD Kudus adalah obesitas (p=0,00; OR=4,49; CI=2,01- 10,02), usia melahirkan anak pertama (p=0,00; OR=4,99; CI=1,90-13,87), riwayat pemberian ASI (p=0,00; OR=5,49; CI=2,05-14,74), dan usia menarche (p=0,00; OR=6,66; CI=2,84- 15,65).

 Judul: FAKTOR-FAKTOR, PERILAKU, DETEKSI DINI KANKER SERVIKS

Penulis: Ns. Sri Wahyuni, M.Kep., Sp.Kep.Mat

Diterbitkan oleh: Universitas Islam Sultan Agung

Penelitian: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU DETEKSI DINI KANKER SERVIKS DI KECAMATAN NGAMPEL KABUPATEN KENDAL JAWA TENGAH

ISSN : 2338-2066


Kanker serviks merupakan jenis kanker terbanyak kedua pada wanita yang menjadi penyebab kematian setelah penyakit kardio vaskuler. ( Rasjidi, 2009; Longo, 2009). Insiden Kanker serviks, menurut perkiraan Departemen Kesehatan, 100 per 100.000 penduduk pertahun(Yatim, 2005).

Insiden kematian meningkat akibat masyarakat enggan elakukan pemeriksaan, sehingga kanker terdiagnosa setelah dalam stadium lanjut. Sebagaimana ditemukan di wilayah kecamatan Ngampel Kabupaten Kendal berdasarkan data yang diperoleh pada bulan September 2012, bahwa sosialisasi tentang kanker serviks sudah dilakukan dengan cara membagikan leaflet, penyuluhan dan menyelenggarakan papsmear masal, namun tingkat kehadiran masyarakat masih rendah, yaitu sekitar 30% - 40%. Hasil wawancara pada 10 orang yang belum melakukan papsmear didapatkan alasan yang bervasiasi, yang mengatakan belum mengetahui 10%, tidak mempunyai uang 30%, kurangnya dukungan suami 20% dan 40% lainnya mengatakan sebagian besar wanita disekitarnya juga belum pernah melakukan periksaan deteksi dini kanker serviks.

METODOLOGI


Jenis penelitian kuantitatif non eksperimental dengan studi korelasi. Pengumpulan data menggunakan kuesioner. Populasi pada penelitian ini wanita yang sudah melakukan deteksi dini kanker serviks yang tinggal di wilayah Kecamatan Ngampel Kabupaten Kendal. Jumlah sampel 60 orang yang diambil dengan teknik random sampling. Tempat penelitian dilakukan di wilayah Kecamatan Ngampel, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, dalam rentang waktu November sampai sampai dengan Desember 2012. Data yang diperoleh diolah secara statistik dengan menggunakan uji regresi logistik.


HASIL


 Tabel 1.
Distribusi frekuensi responden berdasarkan usia, pendidikan, status ekonomi, keterjangkauan pelayanan kesehatan, pengetahuan, sikap, dukungan suami dan dukungan sebaya di Kecamatan Ngampel Kabupaten Kendal Jawa Tengah Tahun 2012 (n=80)

Variabel
Frekuensi
Prosentase
N
(%)
1.
Usia

Muda
47
58,751

Tua
33
41,25
2.
Pendidikan

Rendah
75
93,75

Tinggi
5
6,25
3.
Ekonomi

Rendah
67
83,75

Tinggi
13
16,25
4.
Keterjangkauan

Tidak terjangkau
31
38,75

Terjangkau
49
61,25
5.
Pengetahuan

Rendah
52
65

Tinggi
28
35
6.
Sikap

Negatif
48
60

Positif
32
40
7.
Dukungan suami

Tidak baik
15
18,75

Baik
65
81,25
8.
Dukungan sebaya

Tidak baik
22
27,5

Baik
58
72,5


Tabel 2.
Hubungan antara usia, pendidikan, status ekonomi, keterjangkauan,
pengetahuan, sikap, dukungan suami dan dukungan sebaya terhadap perilaku deteksi dini kanker serviks di Kecamatan Ngampel Kabupaten Kendal Jawa Tengah Tahun 2012 (n=80)


Variabel
Perilaku
P Value
a 0,05
Tidak baik
Baik
N
(%)
N
(%)
1.
Usia


Muda
0
0
47
100
0,540

Tua
4
12
29
88

2.
Pendidikan


Rendah
8
10,6
67
89,4
0,392

Tinggi
0
0
5
100

3.
Ekonomi


Rendah
7
10,4
60
89,5
0,428

Tinggi
1
7,6
12
92,4

4.
Keterjangkauan


Tidak terjangkau
4
12,9
27
87,1
0,386

Terjangkau
4
97,5
37
97,25

5.
Pengetahuan


Rendah
0
0
78
100
0,000

Tinggi
15
19,2
63
80,8

6.
Sikap


Negatif
42
87,5
6
12,5
0,000

Positif
6
18,75
26
81,25

7.
Dukungan suami


Tidak baik
4
26,7
11
73,1
0,000

Baik
53
81,5
12
18,46

8.
Dukungan sebaya


Tidak baik
6
27,27
16
72,73
0,000

Baik
47
81,03
11
18,97


Berdasarkan uji bivariat yang sudah dilakukan, maka faktor-faktor yang masuk kedalam kandidat uji multivariat adalah pengetahuan, sikap, dukungan suami dan dukungan sebaya.

Tabel 3.
Hasil analisis pemodelan pengetahuan, sikap, dukungan suami dan dukungan sebaya terhadap perilaku deteksi dini kanker serviks di kecamatan Ngampel Kabupaten Kendal Jawa Tengah Tahun 2012 (n=80)

No
Variabel
B
SE
Wald
Df
P V
OR
Cl 95%
1.
Pengetahuan
-1,327
0,521
6,471
1
0,011
0,265
0,095-0,737
2.
Sikap
0,784
0,387
4,115
1
0,043
2,191
1,027-4,674
3.
Dukung suami
1,115
0,431
6,706
1
0,010
3,050
1,312-7,095
4.
Dkung sebaya
1,015
0,342
5,608
1
0,032
2,483
1,127-4774
5.
Konstanta
0,821


PEMBAHASAN


Hasil penelitian, faktor yang paling mempengaruhi perilaku deteksi dini kanker serviks adalah dukungan suami dengan nilai p=0,010 dan OR 3,050. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dukungan suami 3,05 kali mempengaruhi perilaku dalam deteksi dini kanker serviks.

Dukungan suami menjadi faktor penentu karena dukungan pasangan akan memberikan penguatan terhadap motivasi untuk melakukan deteksi dini kanker serviks. Suami yang mempunyai pemahaman lebih dapat memberikan penjelasan dan dukungannya pada istri untuk melaksanakan perilaku sehat. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh oleh Shevrin pada tahun 2008 di Amerika. Pada penelitian yang bertujuan untuk menilai pengaruh pasangan dalam skrining kanker payudara dan kanker serviks. Hasil yang di dapatkan dari penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan pasangan tentang kanker payudara dan kanker serviks mempengaruhi dukungan terhadap wanita untuk melakukan skrining.

Keberhasilah dan keberlangsungan periaku sehat sangat membutuhkan dukungan dari keluarga. Dukungan keluarga khususnya suami sangat bermakna untuk guna meningkatkan status kesehatan wanita. Dukungan suami dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku termasuk dalam melakukan deteksi dini kanker serviks (Supartiningsih, 2003)

Kultur masyarakat jawa yang masih sangat kental di wilayah kecamatan Ngampel Kabupaten Kendal yang menempatkan suami sebagai penentu pengambil keputusan sangat mempengaruhi perilaku ibu dalam melakukan deteksi dini kanker serviks. Sehingga dukungan suami sangat bermakna dalam keberlangsungan perilaku sehat mengingat suami, seringkali bertindak sebagai pengambil keputusan terhadap upaya pemeliharaan kesehatan keluarganya (UNFPA, 2004).

KESIMPULAN


 Banyak faktor yang mempengaruhi seorang wanita berperilaku sehat dengan melakukan deteksi dini kanker serviks, namun faktor yang paling mempengaruhi adalah dukungan suami. Dukungan suami 3,05 kali mempengaruhi wanita untuk melakukan deteksi dini kanker serviks dibandingkan faktor yang lain.